GUS MUWAFIQ, kiai desa jadi kiai YOUTUBE ?
October 6, 2019
Edit
GUS MUWAFIQ, KENALI LEBIH DEKAT
Perawakannya tinggi dan
besar. Kulitnya coklat kehitaman. Rambutnya menjuntai melewati bahu, seringnya
digelung ke belakang punggung, hingga nampak lebih rapi. Pakaiannya yang serba
putih, mulai peci, baju, hingga sarung, cukup kontras dengan kulitnya yang
kehitaman. Itulah gambaran sosok Kiai Ahmad Muwafiq.
Di era digital seperti
saat ini, tak sulit menjumpai kiai kelahiran 2 Maret 1974 ini mengingat video
dakwahnya yang beredar luas di Youtube dan facebook. Ketik saja Gus Muwafiq
atau Kiai Muwafiq di mesin pencarian internet, anda akan menemukan videonya
dengan mudah. Beberapa di antaranya bahkan viral termasuk saat mengomentari
Ustad Evie yang menyebut peringatan Maulid Nabi Muhammad sebagai peringatan
atas ‘Kesesatan Sang Nabi’.
Demikian Gus Muwafiq
dikenal di era media sosial saat ini secara luas. Namun yang belum banyak
diketahui tentang kiai nyentrik ini adalah proses sebelum pidato sang kiai
ramai menghiasi media sosial, yang justru proses inilah yang membuatnya berbeda
dengan ustad selebritis yang juga ramai seperti Ustad Evie, Hannan Attaqie dan
ustad media sosial lainnya.
DARI KIAI KAMPUNG KE KIAI YOUTUBE
Jauh sebelum era medsos
dimulai, kiai jebolan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1990-2001 ini telah aktif
melakukan dakwah di berbagai tempat di sekitar Yogyakarta, termasuk kawasan
jawa tengah dan Jawa Timur. Selama itu pula jiwa sosialnya ditempa melalui
organisasi kemahasiswaan; Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Ia juga sering
terlibat aksi turun jalan menentang rezim otoritarian Suharto dan menuntut
Reformasi.
Dalam urusan berdakwah,
bapak empat orang putri ini termasuk kiai yang sangat konsisten menjalani peran
sebagai dai. Di masa awal berdakwah, di mana era media sosial belum seramai
hari ini, Kiai Muwafiq berkeliling dari satu pengajian ke pengajian lainnya
dengan menggunakan motor roda dua. Jika tak ada jemputan, kiai ini lebih banyak
mengendarai motornya menuju lokasi pengajian.
“Seringnya beliau naik
motor ke mana-mana. Biasanya ada yang nemenin bergantian,” ujar Gus Imdad,
pengasuh salah satu pesantren di Wonosobo yang dulunya menemani Gus Muwafiq
berdakwah. Gus Imdad dan rekan-rekannya kala itu saling bergantian mendampingi
Gus Muwafiq menghadiri undangan pengajian.
Zaman itu, lanjut Imdad
tak ada peralatan elektronik seperti handphone dan tripod seperti
saat ini yang perlu dibawa untuk merekam pengajian demi konsumsi dunia maya.
Burhanuddin, santri lain yang kerap mendampingi saat ini mengungkapkan perbedaan
cara mengantarkan kiai saat dulu dan sekarang.
“Biasanya kalau
sekarang kami membawa handphone untuk live
streaming atau merekam video untuk di-upload ke Youtube dan Facebook,”
tutur Burhan. Selain itu, para santri juga biasanya membawa sebuah kamera
digital untuk mendapatkan kualitas gambar yang baik. “Sebagian itu juga
inisiatif dari kami para santrinya,” kata dia.
Kiai Muwafiq sendiri
pada dasarnya adalah kiai yang adaptif dan mengikuti deras perkembangan zaman.
Di era digital seperti saat ini, Kiai Muwafiq dan santrinya menyadari perlunya
mendokumentasi pengajian. Fenomena era digital saat ini tentu berbeda jauh
dengan sepuluh tahun lalu, saat ia masih sering mengisi pengajian di tengah
mahasiswa.
Kala itu, Gus Muwafiq
menggunakan metode yang dekat dengan kelompok mahasiswa, misalnya menyelingi
pidatonya dengan permainan dan dentingan lagu-lagu perjuangan Iwan Fals, yang
memang digemari mahasiswa kala itu. Sayangnya, tak banyak rekaman yang tersisa dari
aktivitasnya di era awal 2000-an itu.
YANG TAK TEREKAM DI YOUTUBE; TIRAKAT PUASA DAN
PINTU RUMAH YANG TERBUKA
Memang tak semua
terekam di media sosial, termasuk bagaimana kiai melakoni tirakat puasanya yang
bertahun-tahun. Tak ada kesaksian yang utuh di antara para santri mengenai
berapa lama puasa yang dijalani sang kiai, sebagian mengatakan delapan tahun,
sebagian lain bilang tujuh tahun.
“Yang jelas, beliau
sering bilang, seorang kiai iku minimal puasanya delapan tahun. Itu di luar
puasa sunnah dan wajib seperti Puasa Ramadhan dan Senin-Kamis,” ujar Gus Imdad.
Puasa tahunan ini juga di luar puasa sembilan bulan yang dilakoni setiap
istrinya Nyai Ella, mulai mengandung hingga melahirkan.
Kiai Muwafiq sendiri
tak menghitung berapa tahun tepatnya Ia berpuasa. Justru yang sering dia
katakan adalah pentingnya puasa. “Riyadloh (puasa) hukume ‘gak kenek
dinyang’ (hukumnya tak bisa ditawar),” katanya. Dari ceritanya,
kebiasaan riyadloh ini dijalaninya sambil melakukan aktivitas
mahasiswa pada umunya termasuk sewaktu menggelar aksi demonstrasi di Yogyakarta
hingga di Jakarta di masa Orde Baru.
Kendati telah dikenal
sebagai kiai yang ramai di era digital, tapi kebiasaan seorang kiai tak pernah
lepas dari dirinya, terutama dalam menerima tamu di rumahnya secara offline.
Bisa dikata, pintu rumahnya terbuka setiap saat. Jenis masalah yang dibawa para
tamu juga beragam, mulai dari persoalan pribadi seperti jodoh, problem domestik
keluarga, sampai sengketa politik dari level desa hingga nasional.
Rumahnya sendiri
terbilang sederhana dengan ukuran yang tak begitu besar hanya sekitar 100 meter
persegi. Di depan rumahnya terdapat beberapa ayam jago piaraannya yang dirawat
dengan baik. Pada dindingnya yang berwarna kuning kehijauan terpampang
foto-foto para kiai khos dan logo NU. Tak ada perabot mahal di
sana. Namun justeru yang menarik adalah beberapa pedang yang menghiasi dinding.
Dalam sebuah kesempatan sang kiai menceritakan kisah dibalik pedang-pedang itu
yang terbilang unik.
Kiai Muwafiq sendiri
memang memiliki sejumlah hobi sejak muda; memelihara ayam jago, mengoleksi
pedang dan menyanyikan lagu perjuangan. Ketiga hobi ini di luar kebiasaannya
melatih silat beberapa santrinya yang menguasai ilmu kanuragan. “Memang jadi
kiai harus serbabisa, mulai dari urusan nyuwuk orang kena
santet, sampek urusan noto (menata) umat dan negoro (negara).
Karena kita tidak tahu siapa dan situasi seperti apa yang akan kita hadapi.
Dulu eranya demonstrasi sekarang eranya Youtube,” pungkas sang kiai
berkelakar.