NATAL DAN MAULUD, Kok digawe repot? GUS DUR
October 6, 2019
Edit
Hampir setiap tahun, selalu ada pro kontra
terkait boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal buat penganut Kristiani,
termasuk tahun 2015 ini. Alasan pelarangan, perayaan Natal merupakan ritual
keagamaan non-Muslim yang tidak dibenarkan bagi umat Islam untuk mengikutinya.
Namun Natal tahun ini terasa spesial lantaran jatuh tepat sehari setelah
perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 24 Desember kemarin.
Sejak dulu sebenarnya masalah seperti ini
sudah menjadi polemik di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Ada sebagian
yang menilai haram, ada juga yang tidak. Nah, untuk memperkaya referensi, ada
baiknya anda tahu bagaimana pendapat KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur soal
masalah ini.
Gus Dur pernah menulis artikel di Koran
Suara Pembaruan pada 20 Desember 2003 berjudul: Harlah, Natal dan Maulid.
Menurut Gus Dur, kata Natal yang menurut arti bahasa sama dengan kata harlah
(hari kelahiran), hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka.
Jadi ia mempunyai arti khusus, lain dari yang digunakan secara umum seperti
dalam bidang kedokteran ada istilah perawatan pre-natal yang berarti
"perawatan sebelum kelahiran".
Dengan demikian, maksud istilah 'Natal'
adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh 'perawan suci' Maryam. Karena
itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak manusia
bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia.
Sedangkan Maulid, Gus Dur menjelaskan, adalah saat kelahiran Nabi Muhammad
SAW. Pertama kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin
al-Ayyubi atau dalam dunia barat dikenal sebagai Saladin, dari Dinasti Mamalik
yang berkebangsaan Kurdi. Tujuannya untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin,
agar menang dalam perang Salib (crusade).
Dia memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, enam
abad setelah Rasulullah wafat. Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan
dalam berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di Saudi Arabia.
Karya-karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi dan prosa untuk
menyambut kelahiran Nabi Muhammad itu.
Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan, dua kata (Natal dan Maulid) mempunyai
makna khusus, dan tidak bisa disamakan. Dalam bahasa teori Hukum Islam (fiqh)
kata Maulid dan Natal adalah "kata yang lebih sempit maksudnya, dari apa
yang diucapkan" (yuqlaqu al'am wa yuradu bihi al-khash). Penyebabnya
adalah asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan manusia yang
beragam. Artinya jelas, Natal dipakai orang-orang Kristiani, sedangkan maulid
dipakai orang-orang Islam.
Menurut Gus Dur, Natal dalam kitab suci Alquran disebut sebagai "yauma
wulida" (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir
dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian
atas orang yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat
dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam
surat al-Maryam: "Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku"
(al-salamu 'alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi
Isa.
Bahwa kemudian Nabi Isa 'dijadikan' Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah
masalah lain lagi. Artinya, secara tidak langsung Natal memang diakui oleh
kitab suci al-Qur'an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang
harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus
dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan
maksud berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan.
"Jika penulis (Gus Dur) merayakan Natal adalah penghormatan untuk
beliau (Isa) dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah
SWT."
Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan, "menjadi kemerdekaan bagi kaum
Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut
hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang
dibolehkan oleh agama. Penulis ( Gus Dur) menghormatinya, kalau perlu dengan
turut bersama kaum Kristiani merayakannya bersama-sama."
Dalam litelatur fiqih, Gus Dur mengimbuhkan, jika seorang muslim duduk
bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka,
seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak
turut dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan ganjalan bagi kaum
muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan dianggap turut
berkebaktian yang sama.
"Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan,
sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah selesai, baru
kaum Muslimin duduk bercampur."
Ada pengakuan dari Romo Antonius Benny Susetyo. Di tengah sakit yang
mendera pada 25 Desember 2009, seperti biasanya Gus Dur masih menyempatkan diri
menelepon untuk mengucapkan "selamat Natal dan Tahun Baru", sekaligus
menyampaikan salam kepada Romo Kardinal dan teman-teman sejawat lainnya.
Demikian tulisan pembuka Romo Antonius Benny Susetyo, Pastor dan Aktivis dalam
buku berjudul: Damai Bersama Gus Dur.
"Saya menanyakan kondisi beliau yang oleh beberapa media sudah
dikabarkan sakit. Beliau menjawab bahwa dirinya sehat-sehat saja dan saat itu
berposisi di kantor PBNU (juga sudah menanyakan sudah makan bubur)," kata
Romo Benny yang juga pendiri Setara Institute, itu.
Cerita Romo Benny itu cukup menggambarkan
betapa Gus Dur masih
teguh memegang prinsip toleransi antar umat beragama di negeri yang majemuk
ini. Sikap Gus Dur itu
ada baiknya diingat kembali ketika sekarang sedang ribut-ribut komentar ulama
di Aceh yang mengharamkan umat Islam mengucapkan selamat Natal dan memperingati
Tahun Baru Masehi.
Sampai kini perayaan Tahun Baru Masehi memang masih menuai pro dan kontra
di kalangan ulama Islam. Ada yang berkukuh melarang, ada pula yang membolehkan.
Bagi sebagian ulama yang membolehkan bisa dilihat dari berbagai kegiatan malam
Tahun Baru Masehi yang digelar di Indonesia, misalnya kegiatan zikir nasional.
Contohnya zikir nasional untuk menyambut Tahun Baru Masehi yang diadakan
pada malam hari setelah salat Isya. Acara itu dipandu oleh Ustaz Muhammad
Arifin Ilham bertempat di Masjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Acara zikir berjamaah itu menjadi salah satu warna tersendiri dalam
menggambarkan kiprah kaum Muslim di Indonesia dari masa ke masa.
Jadi, apakah anda sepakat dengan sebagian
ulama yang mengharamkan perayaan Tahun Baru atau justru sepakat dengan yang
membolehkan? Hal itu merupakan kemerdekaan anda sebagai muslim dalam memilih
sikap. "Gitu aja kok repot..!!!"